Insan Cita Pewaris Organisatoris dan Ideologis_Dalam Rangka Milad HMI Ke-77 Tahun 2024_

Insan Cita Pewaris Organisatoris dan Ideologis_Dalam Rangka Milad HMI Ke-77 Tahun 2024_

Smallest Font
Largest Font

Insan Cita Pewaris Organisatoris dan Ideologis_Dalam Rangka Milad HMI Ke-77 Tahun 2024_

Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq

Suatu waktu, Gusdur berseloroh. Dia mengatakan bahwa, “Untuk mewujudkan keinginan, HMI melakukan berbagai cara. Sementara PMII tidak tahu caranya”.

Seloroh bernada satire ini menuai beragam tanggapan. Ada yang terbahak dan mengiyakan. Ada juga yang ngambek tidak terima.

Mereka yang tahu bahwa Gusdur merupakan sosok humoris, merespon seloroh ini dengan enteng. Bahkan dijadikan masukan yang konstruktif.

Celoteh Gusdur ada benarnya. Benar bahwa banyak kader HMI yang memiliki ambisi dan keinginan. Keinginan untuk berkiprah dalam beragam bidang.

Dulu saya pernah melontarkan sebuah gagasan sebagai hasil analisis, atas perjalanan HMI di pentas sejarah. Sejarah yang lumayan panjang.

Analisis saya itu membandingkan antara HMI pada periode tahun 90an, dengan kondisi HMI saat ini ditangan generasi milenial.

Sederhananya, kesimpulan analisis saya adalah bahwa ada pergeseran pakem yang terjadi pada tubuh HMI dari ideologis ke organisatoris.

Begitu banyak para generasi penerus HMI yang kini berkiprah dalam berbagai bidang. Baik di pemerintahan, wakil rakyat, pengusaha, aktifis, dan lainnya.

Ini menunjukkan bahwa ada keberhasilan kaderisasi dalam HMI, sehingga para alumninya bisa menjadi diaspora pada banyak lembaga.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kader HMI telah berhasil menjadi pewaris organisatoris; menempatkan siapa di posisi apa.

Dengan cara apa? Nah, jangan sampai keberhasilan ini menjadi pembuktian seloroh Gusdur itu, bahwa “untuk mewujudkan keinginannya melakukan dengan berbagai cara”.

Tentu maksudnya adalah cara-cara yang bertentangan dengan aturan. Melakukan berbagai cara termasuk menghalalkan segala cara. Semoga tidak!

Namun di sisi lain, keberhasilan para kader sebagai pewaris organisatoris ini, kurang dibarengi dengan kepiawaian mereka menjadi pewaris ideologis.

Pewaris ideologis yang saya maksud adalah terbentuknya kader yang mumpuni dan kompeten dalam pengetahuan dan pemahaman atas ragam persoalan.

Termasuk pada sikap yang menyertai pengetahuan dan pemahaman tersebut, serta kebermanfaatannya bagi umat dan masyarakat.

Hal ini ditandai dengan semakin minimnya HMI melahirkan cendekiawan dan ilmuwan dalam disiplin ilmu tertentu.

Padahal, dalam sosok anggota HMI, mestinya mewarisi doktrin, norma, nilai, pakem, serta prinsip yang mereka terima ketika mengikuti pelatihan.

Seorang mahasiswa bisa disebut sebagai anggota HMI, pastinya pernah mengikuti Latihan Kader tingkat dasar. Sebagian berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi.

Sejak Latihan Kader tingkat dasar, sudah dikenalkan Nilai Dasar Perjuangan, Filsafat Ilmu, yang membekali mereka untuk bisa menjadi mahasiswa yang kapabel.

Terbiasa berpendapat secara argumentatif, menerima perbedaan, serta mampu mengartikulasikan ide dan pemikirannya secara runtut.

Idenya brilian, pikirannya terbuka, dan pastinya piawai dalam mengelola perbedaan pendapat dengan solusi yang elegant.

Semua kemampuan itu diwariskan oleh para senior kepada adik-adiknya lewat media pengkaderan. Pakem ini berlaku dari dulu hingga sekarang.

Tetapi faktanya, kini masih lebih banyak kader HMI yang lebih piawai dalam urusan cara merengkuh kekuasaan, dibanding memberi solusi lewat ide dan pemikiran.

Yang lebih parah lagi, ada trend di kalangan anggota HMI dan alumninya menjadi puritan dalam pendapat dan pikiran.

Padahal pada proses pengkaderan, tema-tema tentang inklusivisme, pluralisme, yang dirumuskan begitu ciamik oleh Cak Nur atau Nurcholis Madjid dikenalkan.

Lagi-lagi, saya mesti menghadirkan kepentingan politik sebagai salah satu biang-kerok dari fenomena ini. Karena kepentingan politik lah trend ini terjadi.

Jadi, sejatinya bukan hanya kawan atau musuh yang tidak abadi dalam politik. Tetapi juga pemikiran dan idealisme yang mesti bertekuk-lutut di hadapan politik.

Pilgub DKI 2017, Pemilu 2019, Pemilu 2024 adalah beberapa contoh hajat politik yang membuat kader HMI terpolarisasi pada dukungan dan kubu-kubuan.

Karena kepentingan politik, idealisme berubah menjadi pragmatisme. Karena kepentingan politik, daya nalar menjadi tumpul.

Karena politik, mendadak menjadi bodoh, atau setidaknya berubah berpura-pura menjadi bodoh. Dulu lantang kini ngabetem.

Karena perkara dukung mendukung, objektifitas menjadi sirna. Tak cuma memuja sosok dari kelompoknya, tapi menyertainya dengan nista pada lawannya.

Karena trend seperti ini, dimana para kader berkhidmat dan fokus pada kepentingan politik, maka sangat sedikit dari mereka yang bertahan dan menggeluti perkara ideologis tadi.

Puritanisme bukan hanya terjadi pada aspek gerakan, tetapi juga pada aspek pemikiran. Bisa jadi hal ini karena banyak yang terlena dengan urusan politik tadi.

Belakangan, gelombang pemahaman dan madzab dengan corak puritanisme semakin merebak di Indonesia. Lalu berpadu dengan kepentingan politik.

Maka, jadilah norma dan nilai agama sebagai komoditas politik. Dua kepentingan bertemu. Inilah yang kemudian menyebabkan puritanisme menggejala, termasuk di kalangan kader HMI.

Sementara mereka yang masih bertahan dan menggeluti perkara ideologis, semakin sedikit. Bahkan semakin tidak populis; bukan bagian dari mayoritas.

Adalah tak aneh bila pasca era 90an yang disusul dengan kader hasil gerakan reformasi 98 tidak lagi melahirkan mahasiswa sekelas Cak Nur, Gus Dur, Kang Jajal, Qurais Shihab, Harun Nasution, Mas Dawam, dan rengrengan.

Bahwa kondisi saat ini berbeda dengan 3 dekade ke belakang, itu adalah fakta. Tapi ada persoalan yang tidak mesti berubah hanya karena zaman berubah.

Karenanya, mahasiswa zaman milenial pun mestinya masih bisa seperti orang-orang era kolonial yang penulis tulis diatas.

Mesin ketik boleh berubah menjadi komputer, laptop, dan tablet. Mesin fotocopi boleh berubah menjadi scanner dan PDF.

Pager dan intercom boleh berubah menjadi Android dan Ios. Wesel Pos boleh berubah menjadi M-Banking dan cash on delivery.

Tapi ada satu hal yang mestinya abadi dari generasi ke generasi; idealisme yang menjadi ciri utama mahasiswa.

Idealisme yang adalah manifestasi dari norma qulil haq walau kaana murran ini, tidak lekang oleh waktu dan zaman.

Bila perkara idealisme bergeser menjadi pragmatisme hanya karena bahwa “beli susu untuk anak tidak cukup dengan idealisme”, trend inilah sejatinya yang banyak berkontribusi terhadap makin minimnya pewaris ideologis.

Pada peringatan Milad HMI Ke-76 ini, penulis mengajak kepada seluruh kader, untuk bisa tidak sekedar menjadi pewaris organisatoris, tetapi juga menjadi pewaris ideologis.

Jangan hanya fokus pada pergerakan. Garap juga perkara kajian. Jangan melulu berorientasi pada kekuasaan. Pikirkan juga perkara wasathan.

Bila pun kekuasaan itu penting sebagai cara untuk mewujudkan wasathan, maka lakukan dengan cara yang beradab. Dengan politik adiluhung.

Bukan dengan cara caci, maki, cerca, nista, hoax, fitnah, cebong, kampret, kadrun, dungu, buzzer, menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan. Termasuk politisasi agama.

Cara culas dan tidak beradab dalam merenggut kekuasan itu, jangan sampai terjadi, sehingga seolah menjadi justifikasi atas seloroh Gusdur bahwa “untuk mewujudkan tujuan, halalkan segala cara”.

Selamat Milad HMI. Selalu yakin, bahwa usaha dan ikhtiar akan sampai pada tujuan. Tentu dengan cara yang baik.

Karena niat baik, itikad baik, tidak akan mewujud menjadi baik, bila dilakukan dengan cara yang tidak baik. Tujuan penting, maka cara juga penting.

Berdoa dan ikrar dalam rangka menjunjung syiar Islam, adalah cara yang bisa dilakukan  sebagai jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.

Tetapi, manusia hanya punya rencana, karena Allah lah yang menentukan. Maka dalam doa senantiasa sertakan harapan keberkahan. Ya Allah, berkahi. Agar bahagia, HMI!

Selamat Milad HMI Ke-77 Tahun 2024. Yakin Usaha Sampai.
***

_Penulis adalah Alumni LK1 HMI Korkom IAIN SGD Bandung 1992_

Portalnusantara.id
Daisy Floren
Daisy Floren
PORNUS Author