Ketika Akhlak Hanya Sebatas Jargon

Ketika Akhlak Hanya Sebatas Jargon

Smallest Font
Largest Font

Ocit Abdurrosyid Siddiq_
Penulis adalah warga biasa

Istri saya, anak seorang kiai. Bapaknya, salah satu pendiri pondok pesantren terbesar di Banten. Semasa hidupnya, bapak mertua pernah menjadi pengurus Gerakan Pemuda Anshor, organisasi pemuda dibawah ormas Nahdhatul Ulama.

Anaknya, yang adalah istri saya, sekolahnya di madrasah. Mulai tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga Aliyah. Ketika kuliah, memilih perguruan tinggi Islam, yaitu Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Memilih jurusan Pendidikan Bahasa Arab.

Belajar di madrasah, pastinya sangat lekat dengan perkara Alquran, aqidah, akhlak, hadits, tafsir, fiqih, bahasa, tajwid, nahwu, shorof, balaghah, dan yang lainnya. Semua pelajaran agama dipelajari. Tentu saja pelajaran umum juga dipelajari.

Lulusan madrasah bisa dipastikan selain memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama dengan baik, juga memiliki keimanan yang kuat. Keimanan yang kuat itu ditandai dengan keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar. Bahkan paling benar.

Apalagi ditambah dengan pelajaran di perguruan tinggi. Pada perguruan tinggi Islam, perkara aqidah dikaji dan didiskusikan. Sehingga mendapat kesimpulan bahwa konsepsi tauhid dalam Islam merupakan konsep ketuhanan yang benar. Sekali lagi, bahkan paling benar.

Belakangan ini, istri saya suka dan menyukai ceramah agama yang disampaikan oleh pendeta perempuan bernama Henny Kristianus. Pendeta perempuan yang banyak mengupas tentang adab, etika, dan akhlak. Khususnya perkara relasi antara suami dengan istri.

Ceramah sang perempuan pendeta yang bisa disimak lewat aplikasi Tik Tok ini, hampir setiap saat diikuti olehnya disaat waktu luang usai bekerja atau usai menuntaskan pekerjaan rumah. Bila saya kebetulan luang, kami pun kerap menyimak bersama.

Petuah sang pendeta ini begitu sarat dengan nilai kemanusiaan atau humanisme. Penjelasannya yang sistematis, sederhana, dan artikulasi yang jelas, serta kerap menyertainya dengan Firman Tuhan khususnya dalam Amsal, begitu menyentuh hati. Nyerep jasa kana hate. Kaharti.

Dari semua penjelasan dia tentang etika, adab, dan akhlak ini, tak ada satu pun yang bertentangan dengan perkara yang sama dalam ajaran Islam. Perkara humanisme memang tidak mengenal sekat iman. Islam dan Kristen punya norma sama perihal etika.

Cara Henny dalam menyampaikan “tausiyah” sangat menarik untuk disimak. Berbeda dengan ceramah agama Islam yang disampaikan oleh segelintir dai atau penceramah seperti dalam acara pengajian, tabligh akbar, yang biasa menggunakan intonasi tinggi dan meledak-ledak. Tidak semua sih, tapi ada yang begitu.

Istri saya bertanya atas kebiasaannya menyimak ceramah dari orang beda iman itu, ”Apakah boleh dan baik bila saya menyimak khotbah pendeta perempuan ini?”. Saya jawab, ”Tidak soal, karena apa yang dia sampaikan itu sejatinya sama dengan prinsip-prinsip dalam Islam”.

Gaya ceramah sang perempuan pendeta yang sangat menarik ini, baik dari aspek substansi maupun metodologi ini, baik cara maupun isi, mestinya menjadi pembelajaran bagi para penceramah dan dai dalam Islam. Mengapa pada umumnya para penceramah itu kurang menarik?

Ada banyak faktor penyebabnya. Contohnya seperti khutbah khatib ketika jumatan. Mengapa jamaah lebih memilih tidur dibanding menyimak isi khutbah? Karena khutbah yang membosankan, baik cara maupun tema, yang malah menjadi obat insomnia.

Kalau anda sulit untuk tidur, maka dengarkanlah khutbah. Anda dijamin bisa pulas. Satire kan? Ya memang demikian! Ini mesti menjadi pembelajaran sebagai otokritik atau muhasabah bahwa performance khatib, cara khutbah, dan isi khutbah mesti direkonstruksi.

Bahwa tidak semua khatib demikian, itu ada benarnya. Tetapi fenomena ini faktanya menjadi kelaziman yang terjadi pada mesjid-mesjid kita. Bahkan ada khutbah yang sama sekali pesannya tidak dimengerti oleh jamaah. Seperti khutbah yang seluruhnya berbahasa Arab.

Faktor lainnya, biasanya ketika penceramah sedang beraksi, dia lebih banyak melontarkan guyonan yang membuat hadirin alih-alih meresapi dan mendapatkan pengetahuan serta pemahaman baru tentang sebuah hal, malah ger-geran seperti sedang menonton stand up comedy.

Selain itu, banyak penceramah yang bukannya memberikan motivasi atau petuah tentang etika, adab, atau akhlak, malah banyak materi ceramah yang isinya menakut-nakuti jamaah. Seperti balasan api neraka bagi siapa saja yang berbuat inkar. Bahwa itu juga tema penting untuk disampaikan, saya sepakat. Tapi jangan melulu perkara itu.

Bahwa ancaman siksa di neraka bagi pelaku kemaksiatan itu penting disampaikan sebagai cara agar hadirin berpikir ulang ketika akan melakukan kemaksiatan, itu juga ada benarnya. Tapi bila ceramah selalu mengupas tentang ”ngerebek di naraka”, ceramah menjadi tidak menarik.

”Itulah mengapa saya belum bisa bergabung dengan ibu-ibu lainnya hadir dalam acara pengajian rutin mingguan di majelis taklim kampung. Selain karena punya kesibukan dalam melaksanakan pekerjaan, juga karena materi pengajian yang lebih banyak hafalan, doktrin, dan kadang tidak aplikatif”, demikian katanya.

Nah, pelebah inih sebenarnya ada benarnya statement seorang perempuan mantan petinggi negeri ini yang pernah menyampaikan dan mempertanyakan urgensi pengajian rutin yang sangat intensif yang kemudian menuai bullyan, sebagai pernyataan yang tidak agamis. Iya, ibu mantan orang nomor satu di negeri ini.

”Mengerjakan tugas, merawat, mengasuh, dan mendidik anak, melayani suami, menolong tetangga atau kerabat yang sedang kesulitan, bagi saya itu lebih aplikatif dan jauh lebih baik dibanding menyimak ceramah ustadz tentang surga dan neraka”, tambahnya.

”Saya merasa apa yang saya lakukan merupakan aplikasi dari pengajian rutin mingguan ibu-ibu itu. Jadi, tanpa harus abring-abringan dengan busana yang kadang kudu seragam, dan tanpa langsung menyimak ceramah ustadz, saya lebih memilih untuk langsung mengaplikasikannya”, tambahnya lagi.

”By the way, bolehkan saya menyimak perkara etika, adab, dan akhlak dari Bu Henny yang Kristen?”, tanyanya. Saya jawab, ”Perkara itu merupakan perkara universal yang ada pada semua agama dan agama apapun pastinya sama mengajarkan demikian”.

Dalil agama tentang etika, adab, dan akhlak dalam Islam itu sangat berlimpah. Dalil naqli yang bersumber langsung dari Allah SWT itu pastinya benar. Hanya sayang, dalil itu lebih sering terlontar sebagai jargon, semboyan, atau tagline.

Norma mulia dalam agama yang hanya sebatas jargon lalu disampaikan oleh penceramah yang juga lebih asik dengan slogan, semakin membuat isi ceramah tidak menarik. Pengajian dan ceramah akhirnya hanya sebatas seremoni belaka tanpa substansi.

Perkara aqidah atau tauhid dalam konsep Islam haqul yakin benar. Perkara etika, adab, dan akhlak, jangankan dari orang yang berbeda iman, bahkan dari seorang atheis pun, bila itu hasanah, humanis, dan sarat dengan prinsip kemanusiaan, maka patut ditiru dan diterapkan.

Perbedaan iman tidak menjadi penghalang bagi kita untuk bersama dan bersatu dalam amaliah keseharian kehidupan sosial dengan menerapkan etika, adab, dan akhlak, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Tuhan boleh beda. Nabi juga beda. Ritual ibadah juga boleh beda. Tempat ibadah juga beda. Masing-masing agama memiliki keunikan yang menjadi ciri khas agama masing-masing. Tapi perkara etika, adab, dan akhlak, semua memiliki kesamaan.

Dengan dalil naqli tentang etika, adab, dam akhlak yang begitu banyak dalam ajaran Islam, mestinya kita tidak perlu lagi mempelajarinya dari agama lain. Tapi karena perkara itu tadi -bahwa masih lebih banyak jargon dibanding aplikasi-  maka cara Henny mengajarkan akhlak, etika, dan adab masih lebih menarik dibanding penyampaian seorang penceramah atau dai.

Pun dalam ilmu. Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh untuk menuntut ilmu walau hingga ke negeri Cina. Apakah pada saat itu Islam sudah ada disana? Menurut para sejarahwan, belum ada. Maknanya, ternyata Nabi Muhammad SAW membolehkan bahkan menyuruh umatnya untuk belajar kepada siapa pun. Pun pada orang kafir.

Karena dibolehkan bahkan disuruh, itulah mengapa ketika anak saya yang lulusan pondok pesantren berniat mau melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi Katholik, saya tidak keberatan. Sekarang anak saya semester empat di Universitas Katholik Parahyangan Bandung.
***


Tangerang, 7 Juni 2024
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)

Portalnusantara.id
Daisy Floren
Daisy Floren
PORNUS Author