Mencari Jawaban Dalam Debat Calon Wakil Presiden_Ocit Abdurrosyid Siddiq
Tadi malam berlangsung Debat Keempat Calon Presiden dan Wakil Presiden RI pada Pemilu 2024. Debat yang diikuti oleh Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming, dan Mahfud MD ini berlangsung di Gedung JCC dan disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi nasional.
Hari ini, sejak pagi timeline media sosial banyak disesaki oleh komentar atas penyelenggaraan debat tadi malam. Komentar-komentar itu umumnya bernada pujian atas calon yang didukung. Dan tidak sedikit bernada ejekan terhadap penampilan calon lain yang tidak didukung.
Agar penulis tidak ketinggalan geger, maka berniat turut larut dalam perbincangan ini. Sebagai orang yang hingga kini belum menentukan pilihan untuk mendukung calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu, penulis mencoba berceloteh seobjektif mungkin.
Mahfud MD itu orangnya cerdas. Beliau seorang professor, seorang guru besar. Pakar dalam bidang hukum, khususnya hukum tata negara. Sering tampil didepan publik, baik di kampus maupun dalam acara diskusi publik di televisi.
Kecerdasan Mahfud menjadi nampak ketika dia memiliki waktu yang cukup untuk memaparkan pikirannya. Dengan analisa yang sistematis, runtut, tajam, serta mudah dipahami, dia begitu piawai dalam mengupas sebuah masalah.
Karena kerap menyampaikan analisanya dari berbagai perspektif, pemaparannya begitu komprehensif, utuh, dan mencerahkan. Untuk menyampaikan narasi seperti itu, dia membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dia kurang piawai bila diberi kesempatan sedikit.
Itulah mengapa bila dia tampil dalam sebuah acara orasi ilmiah di perguruan tinggi, atau berdiskusi di televisi, begitu memukau para pendengar. Banyak hal-hal baru yang mencerahkan dari Mahfud yang bisa membuka cakrawala pengetahuan baru bagi pendengarnya.
Namun kepiawaian Mahfud kurang nampak ketika dia diberikan waktu yang singkat dan terbatas untuk menyampaikan buah pikirannya. Seperti halnya dalam debat calon Wakil Presiden yang sudah digelar dua kali itu.
Penampilan Mahfud dalam debat Cawapres berbeda dengan penampilan dia selama ini. Menurut penulis, bahkan Mahfud nampak kurang mampu untuk memilah tema untuk menjadi materi prioritas dalam acara debat yang sangat singkat itu.
Ketika dia ditanya tentang solusi atas satu masalah, malah menggunakan waktu yang singkat itu dengan menceritakan apa yang terjadi secara rinci dan itu memakan waktu, sehingga lupa menyampaikan solusi karena keterbatasan waktu tersebut.
Tampil dalam acara debat dengan membawa pena dan secarik kertas sebagai alat bantu catatan, sejatinya tidak dilarang, bahkan tidak lantas terkesan bahwa itu adalah contekan, yang kemudian dimafhumi sebagai wujud kekurang-mampuan dalam menguasai suatu persoalan.
Namun bagi masyarakat awam, membawa kertas dan membuatnya sering menundukkan kepala untuk membaca “contekan” itu, dapat mengurangi keyakinan mereka bahwa seorang Mahfud merupakan sosok yang kadung diidentikan sebagai orang cerdas dan mumpuni.
Mengutip dalil ayat suci dari salah satu kitab agama tertentu, sejatinya bisa bermakna bahwa yang bersangkutan selain paham dengan maksud ayat dimaksud sebagai penguat atas argumentasinya, juga terkesan menjadi sosok soleh dan taat beragama.
Bagi penganut agama yang sama, bisa jadi kutipan ayat suci dalam debat itu menjadi penyempurna benarnya pendapat. Tapi sebaliknya, bagi penganut agama lain yang berbeda, kutipan itu bisa mengubah “kekitaan” menjadi “kalian”.
Jangankan bagi mereka yang berbeda agama, bagi mereka yang seagama dengan kadar beragamanya tidak seperti santri, ustad, kiai, dan ulama, kutipan yang alih-alih terasa sakral itu malah bisa sebaliknya. Lho, emang ada orang ber KTP agama tertentu merasa alergi dengan ayat kitab sucinya sendiri? Ada dan banyak!
Apalagi ternyata kutipan kitab suci itu keliru pelafalan yang bisa memunculkan makna baru dan tidak selaras dengan maksud ayat. Kesalahan yang sejatinya sederhana dan sepele ini bisa digoreng oleh lawan politik untuk menjatuhkannya.
Karenanya, akan lebih baik dalam waktu yang begitu singkat, bila pun terpaksa harus mengutip dalil agama, cukup sampaikan terjemahnya atau maksudnya, yang bisa langsung dimengerti atau dipahami, pun oleh kalangan yang tidak familiar dengan bunyi kitab suci.
Dengan mengutip bunyi dalil agama hingga dua kali dalam kesempatan yang begitu singkat, dan ternyata cara pelafalannya keliru, kesempatan emas itu terasa menjadi hambur dan sia-sia. Lho koq mengutip ayat suci dianggap sia-sia? Bukan itu fokusnya, lur!
Firman Tuhan yang semua orang mafhum bahwa tidak ada keraguan didalamnya dan pasti benar adanya dan karenanya tidak akan terbantahkan, ketika dikutip dengan maksud sebagai pembenar terhadap pendapat namun salah pelafalan, malah bisa berubah menjadi bumerang.
Apalagi ternyata dalil yang sama juga digunakan oleh Imin, pada segmen closing statement, persis setelah Mahfud mengutipnya. Alih-alih membuat Imin terkesan “turut soleh”, malah menjadi seperti pengekor yang menjiplak cara Mahfud.
Oleh para pendukungnya, ketika kedua Cawapres -yang notabene seorang santri dan ulama khususnya di kalangan NU- ini mengutip dalil yang sama dan itu tidak dilakukan oleh Gibran, kemudian menempatkan Gibran diluar circle keduanya.
Dalam hal mengutip dalil agama, oleh para pendukung keduanya, Gibran dianggap tidak sekelas Mahfud dan Imin. Mereka lupa, bahwa para pemilih itu kadar beragamanya masih banyak yang belum sekelas santri. Jadi bila pun mengutip dalil agama, bagi mereka tidak lantas membuat keduanya menjadi lebih hebat.
Di sisi lain, Gibran yang sejak menit pertama tampil dengan gesture kalem, tenang, runtut, dan kadang membuat pendengar tidak mengira dia bisa melakukan hal itu -walaupun tersirat ada kesan isi penyampaiannya adalah hasil hapalan- dia tampil relatif bagus.
Sayang, adegan gerakan tubuhnya yang clingak-celinguk seolah ia sedang mencari sesuatu sebagai sindiran pada Mahfud yang dia anggap tidak memberikan jawaban yang benar dan karenanya dia tidak menemukan jawaban itu, membuatnya terkesan songong.
Karena gerakan tubuh konyol ini, hari ini tagar “songong” yang dinisbatkan pada Gibran yang berulah seolah kanak-kanak ini menjadi viral di media sosial, sebagai wujud respon negatif dari masyarakat. Setidaknya demikian hasil pencermatan beberapa lembaga survey.
Adegan seperti pemain teater pemula yang sedang belajar acting itu, alih-alih menjadi senjatanya untuk menjatuhkan lawan, malah terasa “cringe”. Wajar bila mahfud lebih memilih untuk tidak menjawabnya karena ia anggap itu “recehan”.
Penulis sepakat dengan pernyataan Imin dalam closing statementnya bahwa debat Cawapres itu bukan ajang tebak-tebakan mencari definisi sebuah istilah. Tapi debat itu untuk melahirkan gagasan-gasanan besar dalam bentuk regulasi dan kebijakan.
By the way, apapun yang terjadi, bagi para pendukung masing-masing pasangan calon selalu ada dalil pembenar, atas apapun yang diucapkan dan atau dilakukan oleh calon pilihan. Dan silang pendapat itu mewarnai perbincangan sepanjang hari ini.
***
Tangerang, 22 Januari 2024
_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska)_