Negarawan Diatas Kepentingan_Oleh ; Ocit Abdurrosyid Siddiq

Negarawan Diatas Kepentingan_Oleh ; Ocit Abdurrosyid Siddiq

Smallest Font
Largest Font

*Negarawan Diatas Kepentingan*
Ocit Abdurrosyid Siddiq

Tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 hampir usai. Hasil perolehan suara telah diumumkan oleh KPU. Untuk calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan Prabowo-Gibran menjadi peraih suara terbanyak, mengalahkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Saat ini proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi atau MK. Gugatan diajukan oleh 2 pasangan calon yang kalah. Mereka menyampaikan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU, pasangan calon Prabowo-Gibran, serta Jokowi sebagai Presiden RI.

Pemilu yang merupakan pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia telah menjadi perhatian semua kalangan. Lewat Pemilu kita bisa melakukan pergantian kepemimpinan nasional secara sah dan konstitusional. Ini bisa menjadi momentum bagi rakyat untuk terlibat dalam mengarahkan nasib bangsa setiap 5 tahun ke depan.

Pemilu bukan hanya untuk kepentingan politik praktis belaka dalam menguasai pemerintahan, tetapi juga menentukan arah bangsa. Hampir seluruh elemen masyarakat terlibat aktif turut mengawalnya. Selain para politisi, juga mahasiswa, akademisi, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama sebagai penjaga moral bangsa pun turun gunung.

Karena pemenang kompetisi dalam sistem demokrasi adalah peraih suara terbanyak, semua pihak terlibat dalam dukung-mendukung hingga membentuk kelompok dan kubu. Bahkan tokoh agama yang semula diharapkan menjadi panutan dan teladan, tak pelak menjadi bagian dari kontestasi perebutan kekuasaan ini.

Dalam demokrasi itu satu orang satu suara. Yang dapat banyak jadi pemenang, yang  suaranya sedikit menjadi pihak yang kalah. Untuk meraih simpati dan dukungan dari para pemilih, para calon melakukan beragam cara. Mulai dari cara yang resmi diatur dalam undang-undang, hingga cara-cara terlarang dan pastinya melanggar aturan.

Pada Pemilu kali ini diwarnai dengan adanya calon yang sebelumnya tidak terduga bisa daftar dan maju sebagai calon. Gibran yang berumur masih dibawah 40 tahun -batas minimal usia calon sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pemilu- pada akhirnya bisa mengikuti kontestasi ini dengan menggunakan klausul lain.

Klausul dimaksud adalah bisa dan atau boleh daftar sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden bila sedang dan atau pernah menjabat Kepala Daerah yang dihasilkan lewat mekanisme Pemilihan. Saat mendaftar, Gibran adalah Walikota Surakarta yang berusia 36 tahun.

Munculnya klausul baru itu yang sebelumnya tidak tersua dalam Undang-Undang Pemilu, merupakan hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menerima gugatan judicial review warga masyarakat. Kebetulan -ada dugaan bukan kebetulan tapi rekayasa- salah satu anggota MK yang juga sekaligus ketuanya adalah Anwar Usman, paman Gibran, ipar Jokowi, Presiden RI.

Tak pelak, lolosnya Gibran sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo menuai tuduhan adanya dugaan pelanggaran. Tuduhan itu semakin menguat ketika asangan ini meraih suara terbanyak pada Pemilu 2024. Atas hasil tersebut, pasangan lainnya -Anies dan Muhaimin serta Ganjar dan Mahfud- menyampaikan gugatan PHPU ke MK.

Dalam materi gugatannya, para pemohon tidak hanya mencantumkan perkara nepotisme antara Gibran, Jokowi, dan Usman. Namun sederet daftar dugaan pelanggaran lainnya turut menyertai. Politik uang, bantuan sosial, netralitas birokrasi, independensi penyelenggara, merupakan beberapa diantaranya.

_By the way,_ kalau mau jujur-jujuran, dugaan pelanggaran dalam Pemilu sejatinya tidak hanya dilakukan oleh pihak pemenang. Praktek yang sama dalam kadar tertentu juga dilakukan oleh pihak yang kalah. Hanya saja, secara logika, yang melakukan gugatan atas hasil adalah pihak yang kalah. Bila yang menang melakukan gugatan, itu merupakan langkah sia-sia bahkan bisa jadi bumerang.

Undang-Undang Pemilu menyediakan sarana bagi para-pihak apabila meyakini adanya tindak pelanggaran. Yaitu dengan cara menyampaikan gugatan hasil kepada MK. MK lah yang memiliki kewenangan atau otoritas untuk menetapkan. Keputusan MK bersifat final dan mengikat. Artinya, puas atau tidak puas, sesuai harapan atau malah sebaliknya, harus diterima sebagai keputusan akhir.

Walau demikian, sebagian dari kita merasa pesimis dengan objektivitas hakim MK. Tersebab MK pernah mengeluarkan keputusan yang dianggap menguntungkan pihak tertentu pada saat judicial review tentang batas usia yang menyebabkan Gibran lolos sebagai calon. Namun atas keputusan itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK telah mengambil tindakan dengan memberikan sanksi kepada Ketua MK saat itu.

Anwar Usman telah diputuskan melakukan pelanggaran etik hakim konstitusi. Atas kesalahannya, dia dilarang menjadi anggota majelis hakim MK yang menyidangkan sengketa hasil Pemilu. Dengan begitu, diharapkan 8 anggota hakim MK lainnya bisa memutuskan secara adil, objektif, dan tidak menunjukkan keberpihakan.

Proses sengketa hasil Pemilu di MK telah berjalan. Dalam persidangan, para-pihak saling menyampaikan data, fakta, dan bukti. Masing-masing pihak menghadirkan saksi ahli yang sekiranya bisa menguatkan dalil masing-masing. Diluar persidangan, para pendukung melibatkan diri dalam aksi jalanan sebagai dukungan moral untuk bisa menang di MK.

Pihak pemohon berkeyakinan bahwa terdapat banyak pelanggaran. Mereka menuntut agar hasil Pemilu dibatalkan, karenanya Pemilu mesti diulang. Bahkan pada gugatan yang sama, mereka menuntut bila pun permohonan Pemilu yang diulang berhasil, dengan catatan mendiskualifikasi Gibran, tidak disertakan dalam Pemilu ulang tersebut.

Dalam cuitannya pagi ini di Twitter, Titi Anggraini yang adalah pegiat demokrasi dan Pemilu menulis bahwa _“Apapun putusan MK, opsinya cuma tiga. Permohonan tidak dapat diterima dan ini pasti tidak mungkin karena soal syarat formil, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan, sebagian atau seluruhnya. Jika dikabulkan berupa pemungutan suara ulang, maka akan berbentuk Putusan Sela”._

Sementara di tempat lain, di jalanan, dengan cara unjuk-rasa, tuntutan pelaku aksi lebih liar dibanding gugatan di meja persidangan. Tuntutan mereka tidak terbatas kepada Gibran, tetapi juga merembet kepada penyelenggara, dan Jokowi. Menuntut untuk mundur dari kursi Presiden. Pun Langkah yang politis yang dilakukan di parlemen. Hak angket dan rencana pemakzulan pun mengemuka.

Proses persidangan di gedung MK yang digelar secara terbuka dan disiarkan secara langsung bisa disaksikan oleh seluruh rakyat. Kita bisa menyimak adu dalil, dalih, alasan, dan argumentasi antara pihak pemohon, pihak termohon, pihak terkait, pihak pemberi keterangan, keterangan para saksi ahli, dan pastinya kepiawaian para hakim MK dalam menggelar berjalannya persidangan.

Sebagai wujud dukungan kepada para hakim MK untuk bisa memutuskan secara adil, objektif, dan independen tanpa tekanan dan atau pesanan pihak tertentu, berbagai kalangan masyarakat melibatkan diri dalam upaya itu dengan cara menyampaikan amicus curiae. Mereka memposisikan diri sebagai Sahabat Pengadilan yang memberikan  dukungan moral bagi para hakim untuk menetapkan keputusan secara bijak.

Hakim MK -juga hakim pada persidangan kasus lain- merupakan penegak hukum dan menjadi _“wakil Tuhan”_ dalam menegakkan keadilan di bumi. Mereka bukan hanya kompeten dalam bidangnya, namun juga memiliki integritas sehingga keputusannya didasarkan kepada azas keadilan.

Ditengah hampir tiadanya sosok, orang, lembaga, atau elemen masyarakat yang tampil sebagai negarawan yang mengedepankan kepentingan dan kemashlahatan bersama, karena hampir semua kalangan terlibat dalam politik praktis yang sarat kepentingan ini, termasuk para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh bangsa, akademisi, bahkan para peneliti yang mestinya independen, maka pada situasi seperti inilah Hakim MK  diharapkan tampil menjadi negarawan.

Negarawan itu bukan hanya menakar perkara benar dan salah. Bukan hanya mengukur argumentasi kuat atau lemah. Bukan hanya menimbang bukti valid atau palsu. Negarawan itu juga mesti mempertimbangkan kemashlahatan bersama. Negarawan mesti menyelamatkan negara.

Bahwa dalam persidangan pemohon bisa menyampaikan bukti dan dalil dugaan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh termohon. Namun dalam kadar tertentu bisa dicounter oleh pihak termohon. Bahwa seluruh dugaan pemohon tidak seluruhnya benar. Beberapa diantaranya bisa dipatahkan oleh termohon. Bahwa dalam hal tertentu, malah termohon mendalilkan adanya dugaan pelanggaran yang juga dilakukan oleh pihak pemohon.

Dalam situasi seperti inilah hakim MK tidak semata mempertimbangkan benar atau salah, kuat atau lemah, valid atau palsu. Termasuk faktor aksi jalanan. Pun amicus curiae. Disinilah para hakim diuji untuk bisa tampil sebagai negarawan. Negarawan yang menyelamatkan negara, dengan cara mewujudkan kemashlahatan bersama.

Bila dalam Pemilu ada dugaan pelanggaran pada kadar tertentu, itu benar. Kecil kemungkinan sebuah kontestasi dengan melibatkan dukungan rakyat yang berbeda dan karenanya berkubu, bersih sepenuhnya dari tindak kecurangan atau pelanggaran. Tapi pelanggaran dalam kadar tertentu itu terlalu besar taruhannya bila dibalas dengan Pemilu yang mesti diulang.

Penulis punya dugaan, bukan keyakinan, bahwa nurani anggota majelis hakim MK itu mengakui bahwa ada tindak pelanggaran Pemilu yang dilakukan baik oleh termohon dalam hal ini pasangan Prabowo-Gibran, kelalaian yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, juga keberpihakan pemerintah pada pasangan tertentu. Tapi kadar pelanggarannya tidak sampai pada keharusan hasil Pemilu dibatalkan.

Bayangkan, andai hasil Pemilu kemarin dibatalkan, andai Pemilu mesti diulang, butuh waktu lagi, butuh tenaga lagi, butuh biaya lagi. Bersaing lagi, ribut lagi, polemik lagi, konflik lagi. Ketika Pemilu diulang, siapa yang bisa menggaransi bahwa pada saatnya tidak ada kecurangan, tidak ada pelanggaran?

Bila dugaan itu muncul kembali, menuai gugatan kembali, lalu bersengketa lagi, lalu diputuskan lagi. Lalu tidak puas lagi. Lalu menuntut diulang lagi, lalu curang lagi, lalu sengketa kembali. Lalu..

Hari ini hakim MK telah mengambil sikap. Sikap yang mengedepankan sifat kenegarawanan. Mereka selain mempertimbangkan aspek diatas tadi, juga yang paling penting adalah kemashlahatan bersama untuk kepentingan negara jangka panjang ke depan.

Dalam kontestasi ada yang menang dan ada yang kalah. Itu hal biasa. Hari ini keputusan telah ditetapkan. Mari kita terima. Menang tak perlu jumawa, kalah tak mesti merana. Mari kita kembali merajut kebersamaan sebagai keluarga besar, keluarga Indonesia Raya.

Indonesia dibawah kepemimpinan baru, semoga menjadi negara yang berketuhanan, diatas nilai kemanusiaan, menegakkan keadilan sebagai ciri bangsa beradab, untuk menciptakan persatuan Indonesia, dengan penuh hikmah dan bijaksana, yang diartikulasikan dalam bentuk musyawarah sebagai representasi dari sistem perwakilan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi Indonesia.
***

Tangerang, Senin, 22 April 2024
_Penulis adalah warga biasa_

Portalnusantara.id
Daisy Floren
Daisy Floren
PORNUS Author