Sajak Dalam Sunda Banten_
Sajak Dalam Sunda Banten_
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Kantor Bahasa Provinsi Banten menggelar acara Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) dengan agenda penyusunan Modul Revitalisasi Bahasa Daerah Tahun 2024. Kegiatan yang berlokasi di Hotel Ledian Serang pada tanggal 26-28 Maret 2024 ini menghadirkan 3 komunitas bahasa daerah, yaitu Betawi, Jawa Banten, dan Sunda Banten.
Penulis menjadi salah satu peserta acara mewakili lembaga Komunitas Kamus Sunda Banten, menjadi narasumber untuk kelompok Bahasa Sunda Banten. Dibawah ini beberapa catatan yang bisa Penulis sampaikan sebagai bahan kerangka berpikir para peserta bagi penyusunan modul dimaksud.
Ada 4 cara manusia mendapatkan pengetahuan. Pertama dengan pancaindera, kedua dengan ilmu, ketiga dengan filsafat, dan keempat dengan agama. Bila nomor satu, dua, dan tiga, manusia mendapatkannya secara aktif, maka pengetahuan nomor empat didapat manusia secara pasif.
Ilmu atau ilmu pengetahun yang juga biasa dikenal dengan istilah sains, merupakan pengetahuan manusia yang didapat secara empirik dan rasional. Empirik artinya berdasarkan pengalaman, kasat-mata, dan terukur. Sementara rasional maksudnya adalah logis atau masuk akal.
Sebuah pengetahuan manusia yang hanya empirik saja namun tidak logis, maka dia tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ketika sebuah pengetahuan manusia hanya rasional saja namun tidak bisa dibuktikan secara inderawi, maka dia juga tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Sebuah disiplin ilmu, bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan, bila ada substansinya, isinya, materinya. Dalam terminologi filsafat disebut sebagai ontologi. Selain itu, ada juga metodologinya, atau cara manusia mendapatkannya, yang dalam istilah filsafat disebut sebagai epistemologi.
Dalam khazanah ilmu pengetahuan, terbagi pada dua kategori, yaitu rumpun eksak dan rumpun humaniora. Ilmu eksak merupakan bidang ilmu mengenai hal-hal yang bersifat konkrit atau nyata yang bisa diketahui serta diselidiki dengan berdasarkan pada percobaan sehingga dapat dibuktikan dengan pasti.
Sementara rumpun ilmu humaniora merupakan rumpun ilmu pengetahuan yang mengkaji dan mendalami nilai kemanusiaan dan pemikiran manusia, antara lain filsafat, ilmu sejarah, ilmu bahasa, ilmu sastra, ilmu seni panggung, dan ilmu seni rupa. Bahasa termasuk rumpun ilmu humaniora.
Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, adalah sebuah disiplin ilmu. Artinya menjadi ilmu tersendiri. Karena didalamnya ada objek atau materi yang bisa dipelajari dan diteliti. Bagimana bahasa digunakan, bagaimana bahasa berkembang, bagaimana bahasa dipelajari dan diajarkan, serta bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran dan komunikasi manusia.
Ilmu bahasa atau lebih dikenal dengan lingusitik ini, mempelajari bahasa baik dari segi struktur, fungsi, maupun penggunaannya. Banyak aspek dalam bahasa seperti fonologi atau bunyi, morfologi atau struktur kata, sintaksis atau struktur kalimat, semantik atau makna kata dan kalimat, dan pragmatik atau penggunaan bahasa dalam konteks sosial.
Dalam disiplin ilmu Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, juga Bahasa Sunda (Priangan), aspek itu ada, banyak, dan berlimpah. Dalam Bahasa Sunda Priangan ada undak-usuk basa, yang merupakan sistem penggunaan variasi bahasa halus, sedang, dan kasar. Ada ragam hormat atau bahasa halus, juga ragam loma atau bahasa kasar.
Selain-undak usuk basa, dalam khazanah budaya Sunda Priangan juga terdapat bahasa yang tertuang dalam karya seni berupa sastera dalam bentuk syair lagu, sajak, puisi, carita pondok, cerita rakyat, juga tradisi megkespresikan bahasa dalam bentuk lisan berupa dongeng dan borangan atau ngabodor sorangan.
Namun berbeda dengan Bahasa Sunda Banten. Dalam Sunda Banten, tidak banyak objek yang dapat menjadi kajian, sehingga layak memenuhi syarat sebagai sebuah disiplin ilmu. Bila pun ada, variannya tidak sebanyak dalam Sunda Priangan. Hal ini antara lain karena dalam Sunda Banten tidak ada, tepatnya tidak mengenal undak-usuk basa.
Mengapa terdapat perbedaan antara Sunda Priangan dengan Sunda Banten dalam berbahasa? Ini tidak terlepas dari faktor sejarah dan regulasi pemerintah dalam menerapkan kebijakan sistem pendidikan di tatar Sunda, dalam hal ini ketika Banten masih menjadi bagian dari Jawa Barat.
Jawa Barat sebagai wilayah peninggalan kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran dibawah Dinasti Prabu Siliwangi, merupakan wilayah gemah ripah loh jinawi. Tanahnya subur rakyatnya makmur. Kondisi alamnya indah. Pemandangannya bagus, cuacanya sejuk. Lembang, Ciwidey, dan kawasan Puncak, beberapa diantaranya.
Pada masyarakat yang kebutuhan primer atau pokoknya sudah tercukupi, cukup pangan cukup sandang cukup papan, mereka memiliki waktu luang untuk berkegiatan skunder. Dengan dukungan kontur alam yang indah, menantang imajinasi untuk berkembang. Dari situasi seperti inilah lahir para seniman, sasterawan, juga pujangga.
Sementara tatar Banten sebagai sub-ordinat kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran dibawah pimpinan penguasa lokal bernama Pangeran Pucuk Umun, tersingkir ke pedalaman hutan akibat invasi Kerajaan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Sabakingking atau Sultan Maulana Hasanudin Banten.
Sebagai kelompok yang tersingkir dan menjadi semacam oposisi terhadap Kerajaan Islam Banten, dan hidup ditengah pedalaman hutan, keseharian mereka berkutat dengan persoalan bagaimana caranya bertahan dan mempertahankan hidup. Mereka disibukkan oleh urusan perut.
Pada kondisi masyarakat yang demikian, tidak memiliki waktu luang berimajinasi untuk berkarya. Karenanya, itulah mengapa tatar Sunda Banten jarang melahirkan seniman, sasterawan, apalagi pujangga. Kondisi alam telah membentuk mereka menjadi pribadi yang sederhana, simpel, dan lugas.
Kerasnya hidup di pedalaman hutan yang terbiasa bersua dengan makhluk lain, membentuk mereka menjadi pribadi yang tangguh. Keseharian mereka hanya melakukan hal-hal yang dianggap penting saja. Jarang sekali mereka bertemu, berkerumun, bergerombol dengan orang lain untuk sekedar berbincang atau mengobrol.
Typikal seperti ini bisa kita temukan misalnya pada masyarakat Baduy. Orang Baduy itu tidak terbiasa bicara panjang, apalagi lebar. Ditanya menjawab, tak ditanya diam. Tak suka membincang perkara yang tidak penting. Bagi mereka yang penting itu “beuteung seubeuh, imah pageuh”.
Karenanya, tidak setiap kaidah yang terdapat dalam Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Sunda Priangan, terdapat dalam Bahasa Sunda Banten. Contohnya penciptaan sajak atau puisi. Bila dalam bahasa lain sajak dan puisi begitu puitis dan melankolis, dalam Sunda Banten jatuhnya bisa menjadi semacam stand up comedy.
Boro-boro ngabodor, mendongeng saja jarang. Apalagi mencipta lirik lagu, sajak, puisi, carita pondok, dan yang lainnya. Itulah mengapa di tatar Sunda Banten tidak banyak ditemukan peninggalan karya seni seperti di tatar Sunda Priangan.
Inilah faktor sejarah yang membuat masyarakat Sunda Banten memiliki karakteristik sendiri yang membedakan mereka dengan masyarakat Sunda Priangan. Perkara faktor regulasi pemerintah yang membuat beda antara keduanya, akan Penulis sampaikan pada tulisan berikutnya.
***
Hotel Ledian Serang, Rabu, 27 Maret 2024
Penulis adalah Ketua Komunitas Kamus Sunda Banten