Toleransi Dalam Sebungkus Takjil

Toleransi Dalam Sebungkus Takjil

Smallest Font
Largest Font

Toleransi Dalam Sebungkus Takjil
_Ocit Abdurrosyid Siddiq.

Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang beragam, berbangsa, dan bersuku, syuuban wa qobaila. Ada Arab, Amerika, Cina, Indonesia, dan yang lainnya. Keragaman itu bagian dari skenario Tuhan karena menurutNya _“Aku ciptakan kalian dalam bentuk yang beragam, dan itu Ku sengaja agar kalian berpikir”._

Keragaman itu juga terdapat pada budaya, bahasa, tradisi, nilai, norma, etika, dan yang lainnya. Penciptaan secara beragam itu memiliki tujuan, antara lain untuk _“litaarofu”_, untuk saling mengenal. Dalam proses saling mengenal atau interaksi sosial ini, melahirkan kompetisi yang kita kenal dengan istilah _“fastabiqul khairot”._

Fastabiqul khoirot yang adalah ikhtiar untuk menjadi umat yang terbaik diantara yang baik ini, pastinya dilakukan dengan cara yang baik. Mereka yang kemudian ditahbiskan oleh Tuhan sebagai yang terbaik, adalah yang mampu mematuhi perintahNya dan menjauhi larangannya, _“inna akromakum indallahi atqokum”._

Dengan demikian, keragaman yang diciptakan oleh Tuhan merupakan sebuah keniscayaan. Setiap manusia diberikan keleluasan untuk menentukan pilihan. Setiap pilihan disertai dengan konsekuensi logis. Pilihan baik bisa menuai pahala dan berbalas surga. Pilihan jahat bisa berdampak dosa dan berbalas neraka.

Karena keragaman adalah keniscayaan, maka upaya seseorang untuk memaksa orang lain agar sama, satu, dan seragam dengannya, merupakan tindakan yang bertentangan dengan skenario Tuhan tersebut. Dengan demikian, ada kebebasan yang dimiliki oleh manusia untuk menentukan pilihan. Termasuk pilihan dalam beragama.

Ada banyak agama di dunia. Umumnya dibagi dalam dua kategori. Agama samawi dan agama ardhi. Agama samawi dimaknai sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Sementara agama ardhi dimaknai sebagai agama yang terlahir, didirikan, dan tercipta oleh manusia. Setidaknya demikian definisi sederhana keduanya.

Yang termasuk agama samawi diantaranya adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiganya kerap disebut sebagai agama abrahamic, istilah yang merujuk pada leluhur ketiga agama tersebut, yaitu Ibrahim Alaihissalam, yang kemudian memiliki beberapa keturunan sebagai pembawa risalah ketiga agama tersebut.

Sederhananya, Tuhan mengutus Musa Alaihissalam dan membekalinya dengan Taurat. Umatnya menjadi Yahudi. Tuhan mengutus Isa Alaihissalam dan membekalinya dengan Injil. Umatnya menjadi Kristen. Dan Tuhan yang sama mengutus Muhammad SAW dan membekalinya dengan Al-Quran. Umatnya menjadi Islam.

Jadi, Tuhan yang mengutus ketiga Nabi dan Rosul itu -juga Nabi dan Rosul lainnya- adalah Tuhan yang sama. Tuhan yang itu-itu juga. Hanya saja, karena tafsir manusia atas ajaran Tuhan berbeda-beda, melahirkan pengikut dan kelompok yang berbeda-beda, yang tergabung dalam agama-agama tersebut.

Setiap penganut agama masing-masing meyakini akan kebenaran ajaran agamanya. Kadang menyertainya dengan tuduhan bahwa ajaran agama diluar agamanya itu salah dan sesat. Kompetisi tidak sehat karena saling klaim dan saling tuduh seperti inilah yang kemudian mewujud dalam polemik, konflik, bahkan perang antar umat beragama.

Bila setiap masing-masing penganut agama selalu mencari sisi perbedaan ajaran agama, maka tidak aneh yang muncul adalah pertikaian. Tapi bila sebaliknya, ketika masing-masing penganut agama lebih mengedepankan untuk mencari sisi kesamaan, maka disitulah letak fastabiqul khairot.

Sebagai manifestasi dari konsep _“rahmatan lil alamin”_ yang ada pada ajaran tiap agama -ini terminologi dalam Islam dan dalam agama lain dikenal dengan istilah lain- maka agama merupakan pembawa kedamaian. Tapi bila celah salah ajaran agama lain yang dicari, maka tak heran bila bawaannya stigma dan perang melulu; murtad, munafik, dan kafir.

Setiap agama memiliki ritual ibadah yang tata-caranya diyakini sebagai benar dan sakral oleh masing-masing pemeluk agama. Ritual yang sakral dan diyakini benar oleh penganutnya, bisa jadi dianggap aneh, mengherankan, bahkan konyol dalam pandangan penganut agama lain.

Bagi orang Islam, perilaku menyelimuti sebatang pohon dengan kain sebagaimana yang lazim dilakukan oleh orang Hindu, adalah perilaku mengherankan. Padahal bagi Hindu sendiri filosofinya begitu tinggi. Bagi orang Kristen, melihat orang Islam yang melempar batu sebagai cara untuk mengusir setan merupakan perilaku absurd. Padahal bagi orang Islam itu sarat makna.

Bagi orang Budha, bisa jadi ibadah dengan cara meratap-ratap di tembok ratapan yang dilakukan oleh penganut Yahudi adalah kebiasaan yang tidak bisa dimengerti. Padahal bagi penganut Yahudi itu merupakan prosesi ibadah tingkat ekstase pada tuhannya. Bagi orang Yahudi mungkin beranggapan bahwa menari mengelilingi api sebagaimana tradisi Sikh adalah sebuah kekonyolan.

Orang Islam beranggapan bahwa kebiasaan orang Kristen yang berduka karena ditinggal wafat anggota keluarga dengan cara bernyanyi sembari diiringi dengan petikan gitar dan dentingan piano, merupakan perilaku yang tidak menunjukkan dukacita. Padahal sebaliknya, orang Kristen sendiri tidak kalah heran menyaksikan orang Islam berkeliling sambil membawa lilin, gunting, kelapa, lembaran uang, dan bayi, dalam prosesi cukuran diiringi dengan teriak-teriak dalam nada _marhaba._

Perilaku menakar iman orang lain dari iman sendiri ini, atau dikenal dengan istilah _“mengukur baju orang dengan ukuran badan sendiri”_ ini, pastinya hanya akan menuai kekeliru-pahaman. Maka pada situasi seperti inilah dibutuhkan sikap empati dan toleransi. Menerima dan menghargai perbedaan. Tidak menggunakan standar iman sendiri sebagai indikator kebenaran, untuk menakar kebenaran iman orang lain.

Ramadan yang adalah bulan suci umat Islam dapat menjadi momentum bagi perbedaan ini. Bulan ini bisa menjadi berkah, baik bagi umat Islam sendiri, juga bagi penganut agama lain. Toleransi beragama di kota-kota besar yang notabene beragam penduduknya, juga agamanya, begitu nampak. Bahkan sejak hari pertama ramadan, wujud lain dari toleransi ini kadang dijadikan bahan guyonan yang menyegarkan.

Selama ramadan ini kita banyak menyaksikan begitu banyak orang berburu takjil. Rupanya yang berburu itu bukan hanya umat Islam, tetapi juga non Islam yang dalam istilah jagat X atau Twitter dikenal dengan sebutan nonis atau non Islam. Menariknya, nonis-nonis inilah yang meramaikan perburuan takjil.

Banyak celoteh dan komentar lucu berkaitan dengan kebiasaan nonis dalam berburu takjil. Bayangkan, disaat yang lain masih menahan lapar dan dahaga karena puasa, para nonis ini sudah lebih dahulu dan leluasa untuk mencari takjil, dan tanpa harus menunggu waktu berbuka untuk langsung menikmatinya.

Dalam nada canda, yang sedang berpuasa mengeluh karena mereka sering kalah start dalam berburu takjil. Ketika takjil lebih dulu dibeli oleh nonis, dan tentu saja masih hangat dan banyak pilihan, maka pada saat giliran yang sedang berpuasa mencari takjil menjelang waktu berbuka, yang tersisa hanya remeh dan crispinya saja.

Hebatnya lagi, celoteh bernada guyonan tanpa merasa tersinggung ini keluar dari kedua belah pihak, baik yang sedang berpuasa maupun nonis ini. Bahkan guyonan perilaku nonis yang berburu makanan takjil di bulan ramadan ini sampai diangkat oleh seorang pendeta dalam sebuah ceramahnya di Gereja Tiberias Indonesia.

_“Agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan! Jam 3 mereka (muslim yang sedang berpuasa) masih lemas, kita sudah stand by! Tapi teman-teman (yang muslim) saya bilang begini, oke sekarang kalian boleh bilang, tapi Paskah nanti kami balas dendam. Pas Paskah kami borong telur-telur semuanya, supaya ketika Paskah kalian pakai Kinder Joy!”,_ demikian guyonan dalam gereja yang disambut tawa jemaat.

_“Untukmu agamamu, untukku takjilmu”_, atau _“Maaf saudaraku yang muslim. Ketika kalian menabung untuk hari raya ramadan, percayalah, kami para nonis menabung jauh-jauh hari untuk berburu takjil”,_ adalah dua diantara sekian celoteh lucu dalam Takjil War atau Bukber War pada ramadan kali ini.

Alhamdulillah, ramadan kali ini terasa lebih asik, adem, damai, ceria, menyenangkan, berkat saling-silang celoteh netizen yang berburu takjil. Toleransi begitu terasa ditengah perbedaan, walau pesan itu lewat sebungkus takjil. Salam ramadan. Ramadan karim.
***

Tangerang, Selasa, 19 Maret 2024
_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)_

Portalnusantara.id
Daisy Floren
Daisy Floren
PORNUS Author