Tuhan Masih Menunggu Apa? _Ocit Abdurrosyid Siddiq
Sejarah -dan pastinya bukan hikayat- mencatat, ketika sebuah kemunkaran terjadi di muka bumi karena ulah penguasa yang dzalim, rakyat yang lalim, umat yang ngeyel, dan saat tidak lagi mampu diatasi oleh himbauan dan seruan untuk mengingatkan, maka Tuhan pun “turun tangan”.
Karena umat Nabi Nuh melakukan pembangkangan terhadap ajakannya, Allah SWT kemudian menurunkan banjir bandang yang melenyapkan mereka dan hanya menyisakan orang-orang dan binatang yang turut bersama bahtera Nabi Nuh.
Karena umat Nabi Luth banyak melakukan maksiat dengan cara praktik LGBT, Allah SWT menurunkan azab berupa petir yang memekakkan telinga, gempa bumi, hingga hujan batu, yang membuat penduduk dan kota Sodom musnah.
Karena Abrahah beserta pasukannya dengan menunggang gajah hendak menyerbu kota Mekkah dan akan meruntuhkan Kabah bersamaan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW, Allah SWT kemudian menerjunkan pasukan burung ababil yang memporandakan pasukan Abrahah.
Tapi, ketika Israel membantai penduduk Gaza yang mayoritas muslim, praktik genosida yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun itu telah merenggut korban jiwa hingga hampir 42.000 orang meninggal dan yang terluka mencapai 97.000 orang, solusi pamungkas itu belum menunjukkan tanda-tandanya.
Konflik Israel dengan Palestina telah melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang. Di tanah Palestina, perkara agama dan politik bercampur-aduk. Para pihak saling klaim bahwa masing-masing merasa sebagai pemilik yang sah atasnya.
Israel dan Palestina. Satu tanah dua nama. Masing-masing pihak mengklaim bahwa tanah itu sebagai milik mereka, dengan nama yang mereka pilih. Masing-masing memiliki alasan dan argumentasi untuk merasa sah sebagai pemiliknya.
Ada yang beralasan ke tahun 1988, ketika Dewan Nasional Palestina mengeluarkan deklarasi kemerdekaan, yang diakui sebulan kemudian oleh Majelis Umum PBB. Sekitar tiga perempat keanggotaan PBB menerima keberadaan Palestina sebagai negara, dengan status pengamat non-anggota.
Ada yang menyeretnya ke tahun 1948, ketika para pemimpin zionis mendeklarasikan berdirinya negara Israel, sebagai tindak lanjut Keputusan Majelis Umum PBB yang mengesahkan Resolusi 181 pada 1947, yang membagi wilayah tersebut menjadi negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka.
Lebih dulu dari itu, ada yang mengklaim tanah itu sejak masa kekuasaan Ottoman. Pada masa itu, tanah tersebut terdiri dari tiga wilayah administratif milik kekaisaran Ottoman, yang pada saat itu belum ada yang disebut Palestina seperti yang kita kenal saat ini.
Sejarah mencatat, tahun 1917, tanah tersebut berada di bawah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1923, dibentuk Mandat Palestina, yang juga mencakup negara Yordania saat ini. Saat itu, orang Arab di sana mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Arab yang tinggal di Palestina.
Sebelumnya, pasca penaklukan Islam atas Timur Tengah pada abad ketujuh, orang-orang Arab mulai bermukim di wilayah yang dulunya di tanah ini. Perlu diketahui, selama 90 tahun sebelumnya, wilayah ini dikuasai oleh Tentara Salib.
Pasca penaklukan, wilayah ini berada di bawah kendali muslim selama kurang dari 1.200 tahun. Meskipun pemukiman Yahudi juga tetap ada, populasinya sebagian besar adalah orang Arab, yang muslim, dan sebagian kecil Nashrani.
Jauh sebelum penaklukan Islam, pada tahun 135 M, Kaisar Romawi, Hadrianus mengusir orang-orang Yahudi dari Yerusalem dan menetapkan bahwa kota itu dan wilayah sekitarnya menjadi bagian dari entitas Suriah-Palestina. Palestina diambil dari nama wilayah pesisir Filistin kuno, musuh-musuh bangsa Israel, yang adalah nenek moyang orang Yahudi.
Dalam prasasti Merneptah di Mesir, nama Israel pertama kali muncul menjelang akhir abad ke-13 SM, yang merujuk pada suatu bangsa yang mendiami wilayah yang saat itu disebut Kanaan. Masa di mana peristiwa sejarah masih minim dengan fakta dan bukti.
Lalu, bila merujuk pada perjalanan sejarah yang begitu panjang sebagai dasar dan alasan untuk merasa sebagai pemilik tanah Palestina yang sah, sehingga yang datang belakangan ke tanah itu dianggap sebagai kaum pencaplok, sejarah mana yang akan dijadikan patokan?
Kalau kedua belah pihak dan para pendukungnya masih melihat jauh ke belakang, ke perjalanan sejarah, bisa dipastikan tidak akan menemukan titik temu. Karena masing-masing akan keukeuh bertahan dengan argumentasi dan fakta sejarah versi masing-masing.
Faktanya saat ini, karena kekuatan persenjataan yang dimiliki Israel, wilayah Gaza nyaris tidak berpenghuni lagi. Serangan Israel terhadap muslim Gaza yang tidak pandang bulu itu, telah mewujud menjadi genosida yang sangat mengerikan.
Saling klaim yang begitu panjang ini telah memakan korban jiwa dari kedua belah pihak yang tidak sedikit. Israel yang notabene didukung oleh negara kuat seperti Amerika Serikat, menjadi superior saat berhadapan dengan warga Palestina. Israel dengan senjata, Palestina intifadah alakadarnya.
Puluhan tahun pasca Israel mendeklarasikan negaranya berdiri, muslim Palestina hidup dibawah kendali mereka. Bahkan untuk bisa beribadah saja di Al-Aqsha dipersulit. Tak jarang terjadi insiden kekerasan. Hingga timbul pemandangan tak patut, seperti menyerang muslim yang sedang solat di dalam Al-Aqsha.
Senin, 7 Oktober 2024. Pas satu tahun yang lalu, 7 Oktober 2023, ketika Hamas memulai peperangan lagi -sekali lagi, lagi- dengan menyerang Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang penduduk Israel. Korban terdiri dari pria dewasa, perempuan, juga anak-anak.
Esoknya, 8 Oktober 2024, Israel melakukan serangan balasan. Korban jiwa berjatuhan. Selama 1 tahun Israel menggempur Gaza, hampir 42.000 jiwa melayang, dan 97.000 orang terluka. Korban rerata perempuan dan anak-anak. Akibat gempuran Israel, Gaza porak-poranda.
Yang hilang bukan hanya nyawa. Tapi seluruh kota menjadi rata. Rumah, sekolah, mesjid, rumah sakit, gereja, dan bangunan lainnya runtuh tidak tersisa. Warga Gaza terpaksa berpindah-pindah dari satu lokasi pengungsian ke lokasi pengungsian lainnya.
Dalam kondisi terluka, dan kekurangan bahan makanan, mereka senantiasa mesti waspada dari serangan yang bisa jadi datang secara tiba-tiba. Mau lari kemana? Yang dewasa cacat tak berdaya. Anak-anak kekurangan nutrisi dan gizi.
Sudah banyak cara dilakukan untuk menghentikan peperangan ini. Mulai dari doa, istighosah, penggalangan dana, boikot produk, diplomasi di lembaga internasional, hingga serangan balasan dari negara sahabat. Namun peperangan terus berlanjut. Korban jiwa terus bertambah.
Ada anak kehilangan bapak. Ada bapak kehilangan anak. Ada istri kehilangan suami. Ada suami kehilangan istri. Serangan brutal Israel ke wilayah Gaza telah menjadi genosida. Peluru, mesiu, dan rudal tidak lagi memilih calon korbannya. Penderitaan warga Gaza sudah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ketika semua cara telah dilakukan untuk menghentikan rasa takut, rasa lapar, rasa sakit, bahkan ajal yang dilenyapkan secara paksa oleh sesama manusia ini belum berhasil, sejatinya masih ada satu cara untuk menghentikan kebiadaban yang tiada tara ini. Yaitu pertolongan dari Tuhan.
Lalu, Tuhan masih menunggu apa?
***
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)